PEMENTASAN NASKAH MONUMEN

23.36 Posted In Edit This 0 Comments »
sebagian diri kami dalam pentas naskah monumen (17-februari-2009) di Gedung J9 UM

23.33 Edit This 0 Comments »

21.26 Posted In Edit This 0 Comments »

TEMAN-TEMAN SEMUA DUKUNG FILEM PENDEK KAMI dalam ajang INDOSAT SHORT MOVIE COMPETITION..Kalau anda berkenan dengan filem kami VOTE dan kasih saran ya.. TERIMAKASIH...MAJULAH KESENIAN INDONESIA
http://www.indosatshortmovie.com/?ad=v&d=272

UNTUKMU NEGERIKU

20.55 Posted In , , , Edit This 1 Comment »
 
Monolog Seorang Bekas Pejuang
Adegan 1
Pada sebuah rumah tua, berdinding bambu, gentingnya sudah banyak yang bocor. Di atas meja ada radio tua yang menyiarkan langgam jawa, di sebelahnya secangkir kopi masih mengepulkan asap.
Lelaki Tua
:
(Memakai kopiah dan sarung melilit leher. Duduk di kursi sambil merokok. Pandangannya menerawang) Hidup dan kehidupan memang cepat berubah. Aku hanya kumpulan tulang sisa masa lampau yang pahit. Masa silam yang getir. Hanya itu .... (Membuka bungkusan di atas lemari) Sebuah kebanggaan terhadap cita-cita yang luhur. (Memakai topi veteran, lalu memeluk bendera merah putih yang kusam) Perjuangan dan Pengorbanan. Demi namamu, darahku menjadi peluh airmata telah kering, bahkan nyawa teman, saudara, bahkan kekasih telah kau ambil. Tetapi semuanya telah dibayar lunas dalam wangi warnamu. Indonesia. (menitikkan airmata. Menghela nafas berat)
Adegan 2
Sebuah jalanan kota yang ramai dengan berbagai aktivitas. Seorang pemuda dan penjual nasi muncul bersamaan dari arah yang berbeda.
Penjual
:
(Mulai menggelar dagangannya)
Pemuda 1
:
(Hanya lewat)
Ibu
:
(Menghampiri penjual nasi) Satu, Bu!
Penjual
:
Silakan!
Pemuda 2 dan pemudi 1 masuk sambil membawa koran terbitan Jepang.
Pemuda 2
:
Akhirnya kita akan merdeka.
Pemudi 1
:
Perjuangan kita tidak sia-sia.
Kakek
:
Pelan-pelan saja.
Pemuda 1
:
Ayo kita harus cepat, nanti kehabisan obat.
Pemudi 2
:
(Langsung membeli nasi)
Pak Lurah
:
Rupanya semua berkumpul di sini.
Tiba-tiba tentara Jepang datang, semua menyambut dengan baik.
Tentara Jepang
:
(Berpidato) Perhatian. Ada pengumuman penting, dengarkan: Kami beritahukan kepada kalian semua bahwa kami datang untuk kemakmuran asia. Kejayaan asia raya. Dengan semboyan Hakko Ichiu kami akan membela kalian semua. Sebab, negeri asia hanya untuk orang-orang asia.
Pak Lurah
:
Hidup Asia!
Pemuda 1
:
Hidup Pelindung Asia!
Pemudi 2
:
Hidup Cahaya Asia!
Orang Tua
:
Hidup Saudara Tua!
Semua orang bersorak-sorak mengelukan kedatangan Jepang.
Tentara Jepang
:
Bagus. Tetapi perlu kalian semua perhatikan bahwa kalian harus mematuhi peraturan Jepang. Pertama, kalian tidak boleh mengibarkan bendera Belanda dan Merah Putih, kedua dilarang memasang gambar Ratu Belanda, ketiga dilarang mendengarkan siaran radio luar negeri, dan terakhir setiap orang wajib menyerahkan padi kepada pemerintahan Jepang. Selain itu, semua orang wajib hormat kepada orang Jepang.
Orang-orang yang berkumpul kebingungan dan saling bertanya.
Adegan 3
Janji Jepang hanya mengakibatkan penderitaan. Propaganda Jepang menyebabkan kekacauan ekonomi, melakukan terror polisi militer melalui Kenpeitei, dan yang paling besar adalah pelaksanaan kerja paksa yang disebut Romusha bagi orang pribumi.
Ada enam orang yang jongkok dengan badan lemas. Mereka menahan rasa sakit yang dalam.
Tentara Jepang
:
(Masuk sambil menendang dua orang yang sudah hampir mati) Pribumi Goblok. Ayo kerja.
Orang-Orang
;
Ampun tuan. Ampun. Jangan siksa kami. Kami lapar. Minta air tuan.
Tentara Jepang
:
Bedebah. Ayo kerja. Mau kencing kuda. Mati saja semua. (mencambuk, memukul, menendang, menghantam, menginjak)
Di sebuah rumah sederhana.
Ibu
:
(menimang anaknya dengan penuh kasih sayang)
Anak
:
(sibuk bermain mobil-mobilan dari kulit jeruk) Maem... lapar. (hampir menangis).
Ibu
:
Sabar le, turu wae yo!
Anak
:
(menurut)
Ibu
:
Urip iku mung ngayuh pangartining budi. Kabeh menungso mesti lahir, urip, terus mati. Mulo kudu eling lan waspodo.
(nembang lir-ilir)
Adegan 4
Terdengar siaran radio yang berisi pidato Bung Karno serta pembacaan teks proklamasi.
Lelaki Tua
:
(tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya) Merdeka! Merdeka! Merdeka!
Di luar, tampak orang-orang merayakan kemerdekaan bangsa Indonesia, semua bergembira.
Lelaki Tua
:
Sekali merdeka tetap merdeka
Kemerdekaan itu hanyalah awal dari perjuangan. Perjuangan yang sangat panjang. Melawan penjajah, melawan sekutu, melawan bangsa sendiri, kemudian melawan segala keangkuhan diri kita masing-masing.
Hidup ini terlalu singkat sebelum kita dapat berbuat banyak. Membangun merah putih. Negeri Indonesia.
Alunan biola menyayat kepedihan malam, menghantar seorang bekas pejuang mengakhiri monolognya.
tamat











Tersinggunglah!

22.46 Posted In , , , , Edit This 0 Comments »
Seorang kawan yang baru lulus kuliah ditolak di mana-mana ketika
melamar pekerjaan. Kesalahannya cuma satu, Ia terlalu bangga memakai
bahasa Indonesia.

TIDAK seperti kebanyakan pelamar lain yang berfoya-foya dalam bahasa
Inggris, kawan tadi memakai bahasa Indonesia dalam surat lamarannya.
Jumlah alasannya memakai bahasa Indonesia pun sama dengan kesalahannya
itu, cuma satu, yakni, ia melamar pada perusahaan yang ada di
Indonesia, yang masyarakat, rekan kerja, dan pimpinannya berbahasa
Indonesia. Perusahaan yang pekerjaanya bisa dikerjakan dalam bahasa
Indonesia. Sialnya, kawan tadi lupa, kalau perusahaan di Indonesia
merasa hebat ketika berhasil mengaudisi karyawannya dalam bahasa
Inggris. Biar sedikit intelek, bro!

Dari perusahaan dengan banyak istilah asingnya – meeting, outing,
order, customer, owner, break event point, part time, office boy –
mari beralih ke bidang lain. Dalam pemerintahan, kebanggaan meminjam
istilah Inggris juga amat mengenaskan – kalau tidak mau disebut
mengesalkan atau memuakkan. Tampak sekali kalau para pejabat kewalahan
untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia sepenuhnya, sehingga merasa
perlu meminjam istilah asing. Tengoklah istilah seperti impeachment,
smart card, voting, sampai yang paling tolol, busway.

Entah, tulah apa yang menelanjangi identitas kebangsaan kita. Kenapa
kata-kata asing bertaburan dalam percakapan sehari-hari? Bahasa
Indonesia seakan tak mampu bersolek dengan anggun bila tidak
menggandeng bahasa Inggris. Orang paling bodoh sekali pun diatur gaya
berbahasanya agar fasih melafal tengkyu, sori, serprais, sekuriti,
syoping sebagai syarat penduduk berwawasan global – walau pengetahuan
dan nalarnya tidak diajak mengglobal.

Tidak ketinggalan – dan ini yang paling menyakitkan – institusi publik
yang seharusnya mendidik masyarakat, malah melayani kekeliruan
berbahasa tersebut. Kita lihat bagaimana sekolah-sekolah berbangga
dengan mengganti namanya dengan bahasa Inggris. Universitas
mengiklankan dirinya di media dengan istilah Inggris seperti
admission, free laptop, the leading university, faculty of management,
dan seterusnya. Padahal target pemasarannya adalah orang-orang yang
sehari-hari berbahasa Indonesia.

Media cetak maupun elektronik juga melayani semua kekenesan ini. Simak
saja kata-kata yang mondar-mandir di halaman mata kita. Ada Today
Dialogues, Woman of the Year, Sport, Headline News, dan sebagainya.
Pada SINDO, sebuah media massa nasional, yang logikanya adalah sebuah
media yang turut bertanggungjawab terhadap budaya berbahasa, pun
bersikap demikian. Coba periksa koran ini pada tiap edisinya. Di
halaman depan, mata pembaca sudah dihadang dengan rubrik 'news' dan
'quote of the day'. Usaha meng-inggris ini belum usai, karena disusul
di lembar-lembar berikutnya: rubrik 'financial revolution'-nya Tung
Desem Waringin, rubrik 'people', rubrik 'fashion', rubrik 'food',
rubrik 'rundown', atau cap 'special report' pada artikel tertentu.
Jangan tersenyum geli dulu, karena bukan saja SINDO, koran-koran
lainnya pun tak luput dari gaya-gayaan berbahasa ini.

Mau contoh lain? Tak usah pergi jauh, karena cukup sambil duduk
menggenggam halaman ini, bayangkanlah segala sesuatu di sekitar anda:
merek permen, keterangan dalam bungkus mie instan, nama restoran,
keterangan dalam gedung (exit, toilet, emergency), dan seterusnya, dan
sebagainya, yang kalau dituliskan semua, artikel kali ini hanya akan
memuat daftar 'dosa' tersebut. Dan tentunya memanjangkan rasa jengkel.

Lalu, menjadi sehebat Inggris atau Amerika-kah bangsa ini ketika
berhasil mengadopsi bahasa mereka? Apakah dengan serta merta ekonomi
negara menjadi seciamik mereka? Apakah dengan begitu terlihat cerdas
karena berhasil mensejajarkan diri dengan bangsa Barat? Sampai
sebegitu jijiknyakah kita terhadap bahasa Indonesia sehingga pada kata
'peralatan kantor' perlu ditemani kata dalam kurung 'stationery',
'nyata' ditemani kata dalam kurung 'real', atau 'kekuatan' yang
ditemani 'power'? Seakan mata kita lebih karib dengan kata di dalam
kurung ketimbang kata dalam bahasa Indonesia-nya.

Masih cukup waraskah kita ketika menertawakan seorang artis muda yang
ber-Inggris ria, "hujan..beychek..ojhek", yang padahal adalah cermin
dari ketidakberpribadian diri kita sendiri? Atau celakanya, latah pun
kalau bisa dibuat-buat agar yang keluar secara spontan adalah kata,
'oh my god', 'monkey', 'shit', 'fuck you', atau 'event organizer'.

Pada kasus lain kita temukan bagaimana sikap sok inggris ini tidak
diimbangi dengan pengetahuan memadai. Contoh paling fatal, juga paling
tolol, ada  pada isitilah 'busway' yang tidak mengindahkan aturan
bahasa, terlebih logika. Mana ada frase, "ke Blok M naik 'jalanan bis'
sangat nyaman".

Coba perhatikan, bagaimana kita melafal 'AC' (Air Conditioner) dan'HP'
(Hand Phone). Bukankah kita menyepel a-se untuk 'AC' dan ha-pe untuk
'HP'? – padahal kalau sok Inggris layaklah dieja ei-si dan eitch-pi.
Tapi tidak pada 'VCD' (Video Compact Disc) dan 'PC' (Personal
Computer), karena kita menyepel vi-si-di dan pi-si. Konyolnya, 'Media
Nusantara Citra' (MNC), dieja dengan em-en-si, bukan em-en-ce.

Yang paling menyedihkan, justru yang menghargai budaya (bahasa)
Indonesia adalah orang asing. Mungkin kita sudah bosan mendengar
bagaimana bertaburnya kelompok musik gamelan Jawa di Amerika. Di
Eropa, beberapa konservatori musik malah menyediakan jurusan musik
karawitan atau gamelan bali. Tengoklah yang terdekat, misalnya di
Erasmus Huis, sebuah pusat budaya Belanda di Kuningan, Jakarta
Selatan. Dalam program bulanan kegiatan yang dicetak di atas brosur,
bahasa Indonesia-lah yang didahulukan, kemudian baru disusul dengan
bahasa Belanda kemudian Inggris. Bila ada pementasan pun, buku acara,
bahkan kata sambutannya pun – walau terbata-bata – mendahulukan bahasa
Indonesia. Gilanya, hal ini justru terbalik bila artis Indonesia yang
tampil.

Pada konser Nusantara Symphony Orchestra yang berkolaborasi dengan
Tokyo Philharmonie Orchestra di Balai Sarbini, 10 Juni 2008 lalu,
sebagai perwakilan dari Indonesia, Miranda Goeltom yang orang
Indonesia memberi sambutan, tentunya dalam bahasa Inggris. Lalu,
sebagai perwakilan Jepang, kata sambutan dari 'Duta Besar Luar Biasa
dan Berkuasa Penuh Jepang untuk Republik Indonesia', Kojiro Shiojiri
menyusul. Shiojiri yang asli Jepang ini, yang tidak ada untungnya
karena memakai bahasa Indonesia, malah dengan pede-nya berpidato dalam
bahasa Indonesia, meski terbata. Sudah cukup muakkah membaca kenorakan
kita di atas?

Memang, bahasa yang hidup adalah bahasa yang dinamis dan terus
dirusak. Tidak seperti bahasa yang sudah mati seperti bahasa Latin.
Namun dalam konteks ini, sama sekali tidak menandakan bahwa masyarakat
Indonesia sedang mengembangkan bahasanya secara sadar. Sebaliknya,
masyarakat kita tidak mempunyai kemampuan untuk mengenali fenomena
budaya yang menggigiti identitas bangsa.  Tidak mampu mengatasi
kekagokkannya sendiri terhadap budaya asing. Mirip orang kampung yang
merias berlebihan dengan segala pernak-pernik kota sepulangnya ke
kampung halaman.

Bangsa yang persoalan budaya-nya dianggap sepele bukan Indonesia
sendiri. Tenang saja, kita ada kawan. Bangsa Romawi adalah kawan yang
dimaksud. Secara militer Romawi memang menjajah Yunani, tapi dalam hal
kultural, Yunani-lah yang menjajah. Kalau kita, militer dijajah,
budaya dijajah, ekonomi juga dijajah. Lalu apa yang bisa membuat
bangsa ini tidak terjajah? Ketika tersinggung saat membaca artikel
ini, begitu jawabnya.

Jadi, tersinggunglah!

--
Posted By  Roy Thaniago  to Saung Kata at  10/29/2008 08:01:00 PM

21.28 Edit This 0 Comments »
puisi dan cerita

MALAM BULAN PURNAMA

00.30 Edit This 2 Comments »
MALAM BULAN PURNAMA

Ditulis oleh Aga Shakti Kristian
Para Pemain:
Fatima
Aisyah
Fikri
Joni
Pertiwi
Ratri
Anak1
Anak2
Anak3
Anak4


Seperti kebiasaan yang dilakukan di desa ini. Sebuah desa yang terletak di kaki Gunung Agung. Masyarakat hidup rukun dan damai, karena sepanjang tahun hasil bumi sangat melimpah.
Pada setiap malam bulan purnama, anak-anak berkumpul di tanah lapang untuk bermain. Mereka meliapkan kebahagiaan dengan menyanyi dan menari hingga kokok ayam jantan yang pertama terdengar sebagai tanda datangnya pagi.
Anak-anak sedang bermain petak umpet. Salah seorang anak menghitung mulai satu sampai sepuluh. Sedangkan yang lain mencari tempat untuk bersembunyi. Sampai pada saat tertentu si anak penjaga berhasil menemukan persembunyian anak-anak yang lain. Lalu mereka bersama-sama menyanyi.
Nyanyian:
Terang bulan
Benderang di tanah lapang
Hati girang
Nyanyi riang
Terang bulan
Benderang di tanah lapang

1. Fatima (ikut menyanyi. Setelah selesai segera duduk di pinggir. Anak-anak yang lain melanjutkan permainan)
2. Fatima Malam ini sungguh indah tetapi terasa sepi tanpa kehadiran teman-teman. Apakah mereka lupa atau sengaja mengingkari janji? Bukankah biasanya mereka sudah datang untuk memulai permainan yang baru?
3. Anak-anak (berkejaran di antara Fatima)
4. Fatima Hai, hentikan, pergi sana, jangan maen di sini. Aku sedang tidak ingin bermain.
5. Anak-anak Huuu….huuu. Dasar anak egois!
Tiba-tiba teman-teman Fatima muncul secara bersama-sama sambil berteriak-teriak.
6. Joni Dasar anak yang aneh.
7. Pertiwi Sudah aneh bodo lagi.
8. Aisyah Kenapa tadi tidak kita jeburkan ke kolah sekalin, biar tahu rasa.
9. Fikri Maaf Fat, kita terlambat. Ada hal yang harus kita kerjakan dahulu. Sesuatu yang sangat penting.
10. Fatima Ah…sudahlah. Bagaimana dengan rencana kita malam ini?
11. Joni Tetap pada kesepakatan awal, kita akan ke rumah Pak Karto.
12. Aisyah Tapi ia punya anjing yang besar dan suka menggonggong, galak. Aku tidak mau ikut, takut.
13. Pertiwi Asalkan kita tidak berisik semua pasti aman. Pasti lancer. Tunggu apa lagi? Ayo berangkat!
14. Joni Tidak bisa, kamu sudah lupa Wi? Akulah yang jadi pemimpinaku yang berhak menentukan kapan kita berangkat. Mau melawan?
15. Fikri Sudahlah Jon, pertiwi hanya bercanda.
16. Joni Ayo kalau berani. Baiklah kalau begitu sekarang kita susun rencana.
17. Pertiwi Tugasku apa Jon?
18. Joni Kamu dan Ais bagian mengawasi keadaan, sedangka Fatima yang akan masuk bersama kami.
19. Aisyah Bagaimana kalau ada orang lewat?
20. Fatima Kamu cukup memberikan isyarat seperti biasa.
21. Pertiwi (menyuarakan suara tertentu) Seperti ini?
22. Fikri Ta, tapi perlu ditambah seperti ini. (menyuarakan suara tertentu)
23. Joni Ok. Kalau kita siap, mari berangkat.
Tiba-tiba Ratri yang memang berkaki pincang datang dengan mata tertutup kain.
24. Ratri Rupanya kalian di sini. Kenapa kalian tadi meninggalkan aku, kalian jangan berlari terlalu cepat.
25. Joni O…ya, Tri. Sekarang tebak siapa yang dapat kau tangkap!
26. Fikri Ayo Tri! Kamu bisa menangkap kami sekarang, ayo.
27. Aisyah Sebelah sini!
28. Pertiwi Awas ada lobang!
29. Fatima Ya…ya…sebelah kanan, kiri, kanan, kiri, kanan lalu kiri lagi.
Lalu mereka bersama-sama mendorong Ratri hingga terjatuh, tetapi tidak segera menolong malah tertawa.
30. Fatima Dasar pincang.
31. Fikri Anak cacat dilarang bermain di sini.
32. Joni (menirukan cara berjalan seekor monyet) Tunggu teman-teman tunggu, tunggu aku.
33. Ratri (tertunduk sedih dan mulai menangis)
34. Aisyah Sudah jelek, cengeng, pergi sana.
35. Pertiwi Pergi yang jauh, jangan ikut kami.
36. Joni Ayo teman-teman kita tinggalkan saja.
37. Ratri (menangis) apa salahku? Mengapa mereka tidak mau bermain denganku? Mengapa semua menghinaku? Mereka semua jahat.
Anak-anak yang lain perlahan-lahan mendekati Ratri. Berusaha menghibur dan mengajaknya bermain.
Ratri yang semula sedih kini mulai terlihatkembali bersemangat karena merasa mendapat teman baru. Lalu mereka kembali bermain dan bernyanyi.
Nyanyian:
Bila malam telah datang
Burung bangau kembali ke sarang
Betapa hati menjadi tenteram
Bersama teman bernyanyi dan tertawa
38. Aisyah Tolong! Tolong…tolong.
39. Joni Tolong….(sambil memapah Fatima yang kesakitan)
40. Fatima (menangis kesakitan) Aduh, sakit! Sakit!
41. Ratri Apa yang terjadi? Kaki Fatima kenapa, mengapa berdarah?
42. Pertiwi Ini semua gara-gara Joni!
43. Joni Kok aku, kan tadi kalian semua sudah setuju.
44. Ratri Sudahlah. Biar aku lihat (mengeluarkan saputangan dan langsung membalut luka di kaki Fatima) Kenapa kalian tidak jera, kemarin kan sudah di peringatkan oleh Pak Karto. Kalau mau mangga, kalian boleh memintanya tapi jangan mencuri. Tetapi kalian bandel, ya begini akibatnya.
45. Fikri Mengapa kamu mau menolong Fatima, padahal tadi dia menghinamu? Seharusnya kamu marah kepada kami.
46. Ratri Apa gunanya marah? Kita tidak boleh saling mendendam. Kita wajib saling menolong.
47. Pertiwi Benar! Ternyata kamu baik sekali Ratri. Maafkan kami yang telah menghinamu. Kami sadar kami yang salah.
48. Joni Kami berjanji tidak akan mengulanginya. Sekarang lebih baik kita membawa Fatima pulang.
Akhirnya, tindakan yang salah pasti mendapat balasan yang sesuai. Kini seiring perkembangan zaman, maka sudah jarang ada anak yang memainkan permainan tradisional pada saat malam bulan purnama.
Tamat.